Benarkah Teks Khusus Lebih sulit Diterjemahkan?

Seorang pakar melontarkan sebuah argumen persuasif yang menentang asumsi luas bahwa teks “khusus” biasanya lebih sulit daripada teks “umum” sehingga mahasiswa penerjemahan sebaiknya diberi teks “umum” terlebih dulu untuk berlatih, baru dilanjutkan dengan teks “khusus” yang lebih sulit.

Argumen Seorang pakar berkisar pada apa yang disebutnya “keterikatan (embedded ness)” atau “hubungan (belonging)” sosiobudaya pada suatu teks, yang artinya jaringan sosial tempat bermacam macam kata, frasa, gaya bahasa (style), ranah bahasa (register), dan seterusnya lazim dipergunakan.

Seorang pakar menunjukkan bahwa semakin “terikat” sebuah teks pada jaringan sosial kebudayaan bahasa sumber, semakin sulit untuk diterjemahkan, karena (1) penerjemah akan semakin kesulitan dalam memperoleh atau mendapatkan cukup informasi perihal bagaimana bermacam-macam orang dalam jalinan jaringan itu memahami kata, frasa, atau gaya bahasa (dll.), (2) semakin besar kemungkinan tidak ditemu kannya jalinan jaringan sosial serupa pada kebudayaan bahasa sasaran, dan (3) penerjemah akan semakin sulit menentukan bagaimana tanggapan pembaca bahasasa saran terhadap padanan-padanan yang dibuatnya. John Delisle, misalnya, terang-terangan merekomendasikan penggunaan teks (“umum”) dalam pelatihan penerjemah, karena “pelatihan awal penggunaan bahasa tidak perlu di persulit oleh terminologi khusus”.

Baca Juga Jasa Penerjemah Tersumpah di Jakarta

Hal ini kedengarannya cukup masuk akal, tetapi dengan pernyataannya ini, Delisle keliru mengasumsikan bahwa “teks umum” otomatis bebas dari persoalan terminologi, seolah-olah artikel majalah, materi pemberitaan, dan pidato publik bukanlah jenis yang paling rentan terhadap keterikatan (embeddedness). Secara tekstual jenis-jenis tadi malah memuat banyak sekali konteks yang secara sosial terus berkelanjutan dan tumpang-tindih karena menciptakan hubungan yang kompleks.

Teks khusus barang kali hanya akan menampilkan persoalan terminologi, penerjemah mungkin harus menggunakan kamus atau berdiskusi dengan para ahli sebelum dengan yakin mengalihba-hasakan “tomography” dalam bahasa Inggris menjadi “tomographie” dalam bahasa Prancis atau “tomografia” dalam bahasa Spanyol, tetapi contoh ini tentu saja tingkat kesulit annya jauh lebih rendah daripada pemeriksaan analisis teks yang dilakukan Delisle sendiri kira-kira sepanjang tujuh halaman untuk menjelaskan mengapa pada suatu pemberitaan surat kabar tentang pengangkatan payudara, ungkapan “sense of loss (perasaan kehilangan)”- yang sudah sangat melekat dalam bahasa Inggris tidak bisa dialihbahasakan (Untuk siapa? Mengapa?) menjadi “sentiment de perte” dalam bahasa Prancis.

Tidak ada istilah teknis yang serumit contoh-contoh paling “umum” yang tidak jelas ini! Kesulitan besar pada teks-teks seperti itu termasuk mengalihkan nuansa-nuansa yang terhimpun dari banyak situasi, tatkala ungkapan seperti “sense of loss” bisa digunakan dan, karena alasan untuk melepaskan logika linguistik belaka, tidak pernah menyandang kedekatan yang sama dengan “sentiment de perte”.

Leave a Comment